Esai PPG Prajabatan Bagian C (Nilai dan Etika)

Esai PPG Prajabatan Bagian C (Nilai dan Etika)

Konteks C: Terkadang kita diminta untuk melakukan sesuatu yang menurut kita tidak sesuai dengan nilai, etika, pedoman kerja, ataupun aturan yang berlaku

  • Ceritakan Secara Detail
  • Tindakan apa yang anda lakukan dan mengapa?
  • Bagaimana hasilnya?

Tips dan Trik Menulis Esai PPG Prajabatan

Dengan mengikuti tips dan trik ini, kamu dapat menulis esai yang menggambarkan secara jelas dan mendalam bagaimana kamu menghadapi situasi di mana kamu diminta untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai atau aturan yang kamu yakini.

Contoh Penulisan Esai PPG Prajabatan

A. Ceritakan Secara Detail

Sebagai seorang guru, saya sadar bahwa saya bisa menjadi panutan atau contoh bagi peserta didik. Karena besarnya pengaruh yang bisa dimiliki oleh seorang guru, maka penting juga bagi saya untuk memiliki dan menerapkan nilai-nilai atau pedoman kerja dalam melaksanakan peran saya tersebut, seperti, human dignity, integritas, dan pemahaman empatik. 

Human Dignity adalah pengakuan martabat manusia; saya menghormati setiap peserta didik tanpa memandang jenis kelamin, penampilan, usia, agama, status sosial, asal, kemampuan dan prestasi. Integritas, saya bersikap jujur dalam melaksanakan peran dan tanggung jawab. Pemahaman empatik, saya mencoba memahami bagaimana anak didik saya belajar, apa saja kendalanya, apa saja yang mereka fikir dan rasakan.

Berkaitan dengan pemahaman kondisi peserta didik Rogers (1969) mengutip pernyataan seorang peserta didik: ‘Akhirnya seseorang mengerti bagaimana rasanya menjadi saya tanpa ingin menghakimi saya. Sekarang saya bisa tumbuh dan belajar.’

Selama saya menjadi seorang guru, tindakan yang nampaknya tidak sesuai dengan nilai yang saya percayai dan diminta untuk melakukannya adalah mengenai penilaian peserta didik. Kejadian ini terjadi di awal masa pandemi, di mana semua sektor kehidupan sedang berusaha dan berjuang untuk bertahan, beradaptasi dan mencari solusi di tengah-tengah wabah virus. Begitu juga dengan dunia pendidikan. Di sekolah tempat saya mengajar, semua peserta didik belajar secara daring atau belajar dari rumah.

Terjadi perubahan tanpa persiapan, menciptakan kendala baik itu untuk gurunya maupun peserta didik. Saat itu, proses belajar yang tadinya di dalam kelas, saya pindahkan ke dalam aplikasi Whatsapp. Dari 32 peserta didik, kurang dari 20 yang ikut berpartisipasi tiap pertemuannya. Maka anak didik yang ikut belajar dan mengerjakan tugas adalah 20 orang, malah terkadang kurang dari jumlah tersebut. 

Maka solusinya adalah saya menyiapkan waktu luang di sore hari bagi peserta didik yang ingin bertanya mengenai materi yang telah diberikan, bertanya mengenai tugas, atau mengumpulkan tugasnya di rumah, kebetulan rumah saya berhadapan dengan sekolah. Namun, hanya sedikit yang datang kerumah.

Pertanyaannya, kemana sebagian anak-anak saya yang tidak bergabung ini? Setelah saya melakukan kunjungan rumah, yang pastinya terbatas karena dalam kondisi wabah Korona, maka menemukan ada yang dalam 1 rumah, hanya memiliki satu telepon Android yang juga harus bergantian penggunaannya dengan saudaranya yang lain. Ada yang pulsa dan datanya tidak mencukupi untuk belajar online. Ada peserta didik karena tidak belajar di sekolah maka kondisi ini digunakan untuk membantu bapaknya menarik kayu di hutan. Ada memang anak didik saya yang acuh, kuota dari pemerintah digunakan untuk bermain game.

Tiba Penilaian Tengah Semester, saya kebingungan dalam memberikan nilai.  Banyak anak didik saya yang tidak ikut berpartisipasi dalam grup; walau hanya untuk presensi. Banyak juga yang tidak mengumpulkan tugas. Saat Rapat Dewan Guru, pimpinan sekolah meminta memberikan ‘pemakluman’ terhadap nilai tersebut, apalagi ini terjadi di tengah-tengah pandemi.

Menurut saya, ‘pemakluman’ tersebut tidak akan membantu guru, siswa, sekolah atau bahkan masyarakat. Apalagi untuk anak didik yang acuh.  Bukankah penilaian harus digunakan untuk menentukan apakah seorang peserta didik sepenuhnya memahami konsep atau membutuhkan bantuan tambahan. Penilaian yang tidak semestinya mencegah peserta didik untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.

Sumber: Rogers, C. R. (1969). Freedom to learn: A view of what education might become. Merrill,.

Baca Juga: Try Out Test Substantif GRATIS PPG PRAJABATAN Jurusan PGSD
B. Tindakan apa yang anda lakukan dan mengapa?

Pendidik kadang-kadang ditepatkan dalam situasi di mana mereka diminta untuk memberikan ‘pemakluman’ nilai. Menanggapi dilema penilaian ini, ada beberapa tindakan yang saya lakukan.

Pertama, pahami dan pelajari situasinya. Berkaitan dengan dilemma penilaian yang saya hadapi maka hal pertama yang saya lakukan adalah memahami dan mempelajari dilemma tersebut, “Jika saya melakukan ini (pemakluman nilai), apakah anak didik akan mendapatkan konsekuensi positif dan jika saya melakukan ini (pemakluman nilai), apakah anak didik akan mendapatkan konsekuensi negatif?”

Jika saya melakukan ‘pemakluman nilai’ ini, maka otomatis anak ini akan memperoleh nilai 70, standar KKM Bahasa Inggris yang berlaku saat itu. Negatifnya, ini akan berdampak kepada anak didik lainnya; merasa tidak adil. Mereka tetap bersemangat belajar di tengah-tengah situasi pandemi. Terlebih lagi di awal semester, saya sudah menekankan bahwa saya akan memperlakukan mereka semua sama dan adil.

Kedua, mengidentifikasi harapan yang saya ingin penuhi berkaitan dengan peran saya sebagai seorang guru dan hal apa saja yang dapat menghentikan saya dalam memenuhi harapan tersebut. Melihat dilemma penilaian ini dari berbagai sudut, bahkan melihat aspek negatif dari sudut positifnya. Melihat ke sekeliling dan mengumpulkan contoh kehidupan nyata mengenai dilemma ini. 

Sebagai seorang guru, ketika ditanya ‘apa harapan saya’ maka saya berharap anak didik saya dapat berbuat lebih baik. Beberapa siswa mungkin lemah dibagian-bagian tertentu dan mungkin tidak dapat mengejar kecepatan dari ritme belajar teman-temannya karena memiliki kapasitas belajar yang berbeda. Namun, itu semua adalah tanggung jawab utama saya untuk selalu berharap dan percaya pada kemungkinan kemajuan dalam bidang akademik dan juga kehidupan anak didik saya, alih-alih menyerah pada mereka.

Oleh karena itu, saat penginputan nilai, saya memberikan nilai ‘pas KKM’ kepada anak tersebut. Dengan berbagai pertimbangan, selain karena harapan dan kepercayaan pada kemungkinan kemajuan anak didik ini kedepannya, alasannya lainnya adalah karena kejadian ini terjadi di tengah-tengah awal pandemi. Dimana tidak hanya guru yang mengalami kesulitan, namun juga peserta didik. Sehingga trial dan error untuk menemukan formulasi yang tepat untuk belajar dan mengajar itu terjadi.

Untuk melakukan presensi online saja menggunakan google form, banyak anak didik yang tidak memiliki gmail. Menggunakan aplikasi Zoom Meeting untuk proses belajar, banyak anak didik tidak tahu cara downloadnya. Diberi tahu caranya, saat download kekurangan kapasitas room di teleponnya. Ada juga, anak didik saya yang cuman sempat presensi, namun tidak mengikuti proses selanjutnya karena di jam yang sama harus bergantian dengan saudaranya dalam menggunakan telepon tesebut.

Terlebih banyak juga orang tua/wali murid yang tidak melek teknologi. Ketika anaknya tidak paham hal-hal terkait teknologi, mereka tidak bisa membantu. Peserta didik mau sering-sering ke sekolah, kondisinya saat itu sedang pandemi. Kendala-kendala seperti ini pastinya mengurangi motivasi belajar mereka.  Maka, dengan segala pertimbangan, anak-anak yang mengalami kendala sehingga jarang ikut serta dalam proses belajar mengajar secara aktif diberi pemakluman nilai yaitu nilai pas KKM dengan adanya kesepakatan bersama antara guru, anak didik, orang tua/wali murid bahwa kedepannya akan ada perubahan.

Baca Juga: Try Out Test Substantif GRATIS PPG PRAJABATAN Jurusan Bahasa Inggris
C. Bagaimana hasilnya?

Dengan segala pertimbangan seperti yang telah saya jelaskan di pertanyaan …, maka anak-anak yang mengalami kendala sehingga jarang ikut serta dalam proses belajar mengajar diberi pemakluman nilai yaitu nilai pas KKM. Namun, ada kesepakatan yang dilakukan bersama antara antara guru, anak didik, dan orang tua/wali murid bahwa kedepannya akan ada perubahan di semester II walaupun proses belajar mengajar tetap dalam suasana pandemi.

Perubahan dari anak-anak ini yang dapat saya deskripsikan adalah mereka mulai  terbuka untuk bercerita dan mencari solusi berkaitan dengan kendala yang mereka hadapi, mereka juga tidak lagi acuh tak acuh. Misalnya, ketika di hari itu mereka tidak hadir dalam pembelajaran online, mereka akan mengirim pesan melalui Whatsapp menjelaskan kenapa tidak hadir atau mereka akan menanyakan materi yang diajarkan seperti apa atau menanyakan apakah ada tugas dan bagaimana cara mengerjakannya.

Untuk peserta didik yang memiliki kendala di telepon Android, maka mereka kerumah untuk mengambil salinan materi dan LKPD atau mereka datang kerumah untuk mengumpulkan tugas-tugasnya. Saya masih ingat dengan jelas, betapa besar keinginan salah seorang anak didik saya untuk menyelesaikan pertanyaan Penilaian Akhir Tahunnya. Kebijakan dari sekolah tempat saya mengajar terkait Penilaian Akhir Tahun, dimana semua soal-soal dari tiap mata pelajaran dibuat dalam satu bundel dan dibagikan ke peserta didik.

Peserta didik menerima bundelan soal tersebut dan mengerjakannya dirumah. Seorang anak didik saya datang kerumah, ‘bu mau pinjam hp, mau mengerjakan soal-soal PAT. Tidak ada HP, materi dari buku pelajaran juga kurang’ Anak ini makin menegaskan peran saya sebagai seorang guru, bahwa tindakan saya memiliki konsekuensi – dan konsekuensi itu mempengaruhi kehidupan mereka. Apa jadinya jika kemarin saya bertahan untuk memberikan nilai ‘mati’ tanpa ada kesempatan dan kesepakatan demi perubahan anak didik saya.

Dalam hal penilaian, saya harus selalu mempertimbangkan anak didik saya. Saya harus ingat bahwa semua anak didik saya berbeda dan mereka akan belajar dengan kecepatan yang berbeda. Jika mereka mengalami kesulitan dengan tugas-tugas mereka, saya harus mencari tahu alasan mengapa mereka mengalami kesulitan menyelesaikannya sebelum membuat penilaian akhir.

Saya juga harus mengingat bahwa pendidikan lebih dari sekedar peringkat dan nilai ujian; karena pendidikan itu seharusnya membantu anak didik saya menjadi generasi masa depan yang tumbuh menjadi orang dewasa yang akan mempengaruhi dunia secara positif.

Hasilnya adalah mereka tidak lagi acuh tak acuh. Misalnya, ketika mereka tidak hadir, mereka akan mengirimkan pesan dan menanyakan materi, tugas, dan cara mengerjakannya. Mereka juga mau kerumah untuk mengambil salinan materi atau mengumpulkan tugas. Melihat betapa besar keinginan mereka untuk berubah, makin menegaskan peranan saya. Apa jadinya jika kemarin saya bertahan untuk memberikan nilai ‘mati’ tanpa ada kesempatan dan kesepakatan.

Mereka mengalami kesulitan, saya harus mencari tahu alasannya sebelum membuat penilaian akhir. Saya harus mengingat bahwa pendidikan lebih dari sekedar peringkat dan nilai; pendidikan seharusnya membantu anak didik saya menjadi generasi masa depan yang dapat mempengaruhi dunia secara positif.

Akhirnya, Alhamdulillah, ketika saya menulis esai ini, anak-anak didik ini sudah menyelesaikan studi SMP, dan sedang dalam proses pendaftaran di jenjang selanjutnya. Selamat berjuang anak-anak ibu.

Tenry Colle
Tenry Colle

Hi! My name is A. Tenry Lawangen Aspat Colle. I am a motivated and resourceful English educator. In addition, as the owner of @rymari.translation17 has shaped me to be a punctual and dependable translator of Indonesian to English and vice versa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *