pembelajaran berdiferensiasi

Pembelajaran Berdiferensiasi: Mengakomodir Keragaman Peserta Didik

Apa sih pembelajaran berdiferensiasi itu?

Teacher, pernahkah Anda mendengar pembelajaran berdiferensiasi?

Peserta didik dengan usia yang sama, datang ke sekolah dan duduk dikelas yang sama belum tentu memiliki kesiapan belajar dan minat yang sama. Mereka memiliki kemampuan yang beragam, ada peserta didik yang sudah paham pada konsep materi yang akan diajarkan, tetapi ada juga diantara mereka yang belum memahami apapun. Mereka memiliki suatu hal yang berbeda antara satu sama lain. Mengapa? Karena mereka adalah manusia yang lahir dan dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa potensi yang berbeda-beda.

Mereka terlahir dari latar belakang, kebiasaan dan kebudayaan berbeda-beda. Keragaman inilah yang memengaruhi peserta didik. Kelas yang ditandai dengan perbedaan-perbedaan ini menuntut beragam strategi untuk mendiferensiasikan pengajaran agar kebutuhan peserta didik yang beragam tersebut dapat terpenuhi.

Oleh karena itu, para pembuat kebijakan dan peneliti di bidang pendidikan mendorong guru-guru untuk merangkul keragaman dan menyesuaikan pengajaran mereka sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik yang beragam (Schleicher, 2016; Unesco, 2017).

Diferensiasi adalah filosofi pengajaran yang berakar pada penghargaan/penghormatan terhadap peserta didik, pengakuan akan perbedaan yang mereka miliki, dan dorongan untuk membantu semua peserta didik berkembang. Ide-ide tersebut menyiratkan bahwa guru secara proaktif memodifikasi kurikulum, metode pengajaran, sumber daya, kegiatan belajar, atau persyaratan produk siswa untuk lebih memenuhi kebutuhan belajar siswa (Tomlinson et al., 2003).

Dengan kata lain, dalam kelas yang didiferensiasikan, guru memulai proses pengajarannya berdasarkan kebutuhan, kesiapan, minat peserta didik dan kemudian menggunakan model pengajaran dan penataan instruksional untuk memastikan bahwa peserta didik meraih prestasinya.

4 area penerapan pembelajaran berdiferensiasi

Menurut Tomlinson (2000) terdapat empat area penerapan  pembelajaran berdiferensiasi, yaitu konten, proses, produk, dan lingkungan belajar.

1. Berdiferensiasi pada aspek konten

Konten pembelajaran seharusnya merujuk pada standar isi sebagaimana yang tercantum dalam peraturan pemerintah atau peraturan daerah apabila terdapat otonomi pendidikan pada tingkat kota atau kabupaten.

Teacher, kita pasti pernah dihadapkan dengan peserta didik yang belum memiliki pengetahuan tentang suatu konsep atau materi pembelajaran, dilain sisi ada beberapa peserta didik telah memiliki konsep tersebut secara memadai.

Oleh karena itu, seorang guru sebagai pemgembang pembelajaran perlu membedakan konten dengan merancang kegiatan untuk kelompok peserta didik dengan keterampilan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skill, LOTS) dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skill, HOTS).

2. Berdiferensiasi pada aspek proses

Teacher, berdiferensiasi pada aspek proses merujuk pada penggunaan model, strategi, atau metode yang sesuai dengan gaya belajar atau kecerdasan majemuk peserta didik.

Yang perlu menjadi perhatian seorang guru bahwa tidak semua peserta didik memerlukan bimbingan dan dukungan yang sama dengan teman kelasnya. Ada peserta didik yang memilih untuk bekerja secara individu, kelompok, atau berpasangan. Namun, ada juga peserta didik yang memerlukan bimbingan langsung dengan seorang guru.

Guru perlu menawarkan dukungan kepada peserta didiknya berdasarkan kebutuhan si peserta didik tersebut. Misalnya, menyediakan listening section bagi pembelajar audio, guru juga perlu menyediakan buku teks bagi peserta didik yang belajar secara visual. Sedangkan untuk pembelajar kinestetik, guru dapat menyediakan kegiatan yang berfokus pada praktik, eksperimen, atau bermain peran.

3. Berdiferensiasi pada aspek produk

Berdiferensiasi pada aspek produk berkaitan dengan tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik untuk menunjukkan kemampuan dan keterampilannya sebagai penjabaran dari isi teori atau konsep. Tugas-tugas dapat berbentuk tes, proyek, atau laporan.

Para guru dapat menugaskan peserta didik untuk menyelesaikan kegiatan yang menunjukkan penguasaan konsep dengan cara yang disukai peserta didik berdasarkan gaya belajar dan/atau jenis kecerdasan majemuknya. Misalnya, memberikan tugas untuk menulis laporan buku kepada peserta didik yang senang membaca dan menulis, membuat cerita dengan graphic organizer (sejenis peta konsep atau diagram konsep) bagi peserta didik yang memiliki gaya belajar visual atau cerdas visual-spasial, membuat laporan lisan atau presentasi lisan bagi mereka yang bergaya belajar auditori, serta membuat drama yang menggambarkan cerita bagi gaya belajar kinestetik.

4. Berdiferensiasi pada aspek lingkungan belajar

Berdiferensiasi pada aspek lingkungan belajar adalah pengaturan kondisi belajar yang optimal. Jika menerapkan pembelajaran tatap muka dalam ruang kelas tradisional, tata letak ruang kelas yang fleksibel adalah kuncinya. Seperti pengaturan posisi duduk untuk mendukung kerja individu dan kelompok.

Jika menerapkan pembelajaran daring (online), maka perlu memperhatikan aplikasi yang memungkinkan untuk pertemuan secara virtual dan pertemuan berbasis web yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja. Perhitungkan durasi waktu pertemuan tersebut, perhatikan pula kesediaan devices, pulsa atau data yang dimiliki oleh peserta didik.

4 contoh keragaman peserta didik

Teacher, sebarapa jauh sih keragaman yang bisa ditemukan dalam diri seorang peserta didik?

Mari kita melihat 4 contoh keragaman tersebut dari puluhan atau bahkan ratusan keragaman peserta didik yang mungkin akan Anda temui. 

1. Keragaman cara berinteraksi

Teacher, pernah kah Anda menjumpai anak didik yang supel? Mereka adalah peserta didik yang dapat dengan mudah berinteraksi dengan teman sekelasnya atau bahkan dengan gurunya.

Atau malah sebaliknya, Anda menemukan peserta didik yang kesulitan mengembangkan hubungan positif bersama dengan temannya, terlebih dengan ibu/bapak gurunya.

Tahukah Teacher, keragaman ini didukung oleh teori ekologi perkembangan anak yang diperkenalkan oleh Uri Bronfenbrenner, seseorang ahli psikologi dari Cornell University Amerika Serikat. Teori ekologi memandang bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh konteks lingkungan. Bronfenbrenner dan Morris (1998, hal. 234) menjelaskan bahwa tiga sistem lingkungan yang membentuk tingkah laku individu adalah mikrosistem, ekosistem, dan makrosistem.

Bronfenbrenner dan Ceci (1994, hal. 568) menjelaskan mikrosistem adalah lingkungan dimana individu tinggal, konteks ini meliputi keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan tampat tinggl.  Dalam sistem ini, interaksi terjadi secara langsung dengan agen sosial, yaitu orang tua, adik-kakak, teman, dan guru. Setiap individu memiliki peranan dalam membangun hubungan interpersonal dengan lingkungan mikro sistemnya.

Lingkungan ini sangat mempengaruhi perkembangan individu terutama pada anak usia dini sampai remaja. Subsistem keluarga khususnya orang tua dalam mikrosistem dianggap agen sosialisasi paling penting dalam kehidupan seorang anak sehingga keluarga berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak-anak.

Oleh karena  itu, contoh keragaman berinteraksi di atas dapat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dirumah. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan kooperatif terhadap orang-orang lain. Sedangkan pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.

2. Keragaman minat dan potensi

Minat dan potensi peserta didik yang satu dengan yang lainnya menjadi salah satu keragaman yang dapat Teacher temui di dalam kelas. Ada peserta didik yang menyukai soal perhitungan, ada juga yang gemar mengarang cerita atau puisi. Ada yang memiliki ketertarikan terhadap musik, dan ada juga yang suka berolahraga.

Perbedaan ini mengisyaratkan bahwa kecerdasan tidak melulu tentang angka. Anak yang cerdas tidak hanya diukur dengan kecerdasan matematikanya. Peserta didik belajar secara berbeda satu sama lain dengan keunggulan dan kehebatan sendiri-sendiri atau yang dikenal dengan Multiple Intelligences.

Teori kecerdasan yang dimunculkan oleh Gardner  (1989) dijelaskan bahwa “intelligences is the ability to find and solve problems and create products of value I ones own culture” (Gardner & Hatch, 1989). Kecerdasan seseorang dilihat dari kebiasaannya dalam menyelesaikan masalah sendiri (problem solving) dan kebiasaannya dalam menciptakan produk-produk baru yang memiliki nilai budaya (creativity).

Pernyataan ini sudah sangat jelas menggambarkan bahwa setiap peserta didik mempunyai kecerdasannya masing-masing. Gardner (1989) menyebutkan terdapat 9 sembilan kecerdasan dengan kadar yang berbeda-beda. yaitu: cerdas bahasa (linguistik), cerdas matematis-logis (kognitif), cerdas gambar dan ruang (visual-spasial), cerdas musik, cerdas gerak (kinestetik), cerdas dalam bergaul (interpersonal), cerdas diri (intrapersonal), cerdas alam, dan cerdas eksistensi.

Oleh karena itu, perbedaan kecerdasaan ini adalah suatu hal yang biasa. Sebagai seorang guru maka kita harus menghargai perbedaan tersebut, karena perbedaan itu adalah cerminan potensi yang ada pada peserta didik.

3. Keragaman kebutuhan assistance 

Contoh keragaman selanjutnya yang dapat ditemui adalah perbedaan peserta didik dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Ada peserta didik yang dengan mudah memahami pelajaran diberikan, namun di lain sisa ada juga peserta didik yang membutuhkan bimbingan ekstra dari sang guru agar dapat menangkap materi yang disampaikan.

Teacher, perbedaan ini berkaitan dengan perbedaan tingkat perkembangan dari teori Zona Proksimal Development (ZPD). Peserta didik yang mampu menyelesaikan tugas yang diberikan secara mandiri makai ia berada pada tingkat perkembangan aktual. Sedangkan, tingkat perkembangan potensial ditunjukkan oleh kemampuan peserta didik memecahkan masalah yang membutuhkan pendampingan/bantuan orang dewasa (guru).

Hal ini mengisyaratkan, setiap peserta didik memiliki ZPD yang berbeda-beda, maka dari itu bimbingan dan instruksi dengan kadar yang sesuai sangat dibutuhkan untuk dapat mengembangkan potensi masing-masing peserta didik.

4. Keragaman gaya belajar

Teacher, seperti yang kita ketahui bahwa tiap anak memiliki gaya belajarnya masing-masing. Ada peserta yang dengan mudah memahami materi yang disampaikan hanya dengan mendengarkan saja. Ada juga peserta didik, untuk memahami materi yang diberikan maka ia harus banyak membaca, tidak cukup dengan mendengarkan materi yang disampaikan oleh bapak/ibu guru di kelas. Kemudian ada lagi peserta didik untuk memahami materi tersebut, ia harus membuat rangkuman terlebih dahulu, kemudian ia mencoba kaitkan dengan contoh-contoh relevan disekitarnya.

Bandler dan Ginder (1970) menyampaikan argumentasinya bahwa peserta didik memiliki gaya belajar visual (penglihatan), auditori (pendengaran), dan kinestetik (sentuhan dan gerakan) / V-A-K. Gaya belajar visual, peserta didik lebih cenderung mudah mencerna materi yang ia pelajari kalau sudah melihat bendanya, kemudian gaya belajar auditori yaitu peserta didik lebih cenderung mudah memahami materi yang ia pelajari jika dipaparkan melalui suara atau bunyi, dan gaya belajar kinestetik yaitu peserta didik mudah mencerna materi yang mereka pelajari jika sudah menyentuh bendanya. 

Dari penjelasan diatas menandakan bahwa terdapat perbedaan tipe gaya belajar peserta didik, sebab sejatinya terdapat perbedaan kemampuan dan karakteristik antar individu. Oleh karena itu, seorang guru diharapkan dapat lebih memahami karakteristik dan kemampuan peserta didiknya serta mengenali bagaimana gaya belajar peserta didiknya sebab kesesuaian gaya belajar ini akan menjadi jalan kesuksesan dari sebuah proses pembelajaran.

Kesimpulan

Teacher, setelah membaca artikel ini, kita berada pada satu kesimpulan bahwa Mari mengenal profil peserta didik kita agar pembelajaran yang mereka lalui menjadi bermakna. Pembelajaran berdiferensiasi itu bukanlah guru mengajar 28 peserta didik dengan 28 cara yang berbeda. Bukan pula, guru memberikan banyak soal untuk peserta didik yang lebih cepat memahami dibandingkan yang lain. Bukan juga guru yang membuat beberapa perencanaan pembelajaran sekaligus pada satu pembelajaran. 

Praktik pembelajaran didalam kelas dapat dilakukan melalui:

  • Mendesain pembelajaran berdasarkan gaya belajar peserta didik.
  • Mengelompokkan peserta didik berdasarkan minat, potensi, atau kemampuan mengerjakan tugas. 
  • Memberikan penilaian dengan menyesuaikan isi pembelajaran dengan menitik beratkan pada penilaian formatif.
  • Menilai dan menyesuaikan isi pembelajaran secara terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan peserta didik.
  • Mengelola kelas untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung.

Teacher, apakah Anda merasa kesusahan untuk menerapkan pembelajaran berdiferensiasi ini? Mungkin akan sulit di awal, namun bukankah ada peribahasa yang mengatakan ala bisa karena terbiasa!

Daftar Pustaka dan Rujukan Daftar Bacaan

  • Bronfenbrenner dan Morris. (1998). The Ecology of Developmental Processes. In W. Damon (Series Ed.) & R. M. Lerner (Vol. Ed.), Handbook of Child Psychology: Vol. 1: Theoretical Models of Human Development, (New York: Wiley, 1998),
  • Bronfenbrenner, U., & Ceci, S. J. (1994). Nature-nuture reconceptualized in developmental perspective: A bioecological model. Psychological review101(4), 568.
  • Gardner, H., & Hatch, T. (1989). Educational implications of the theory of multiple intelligences. Educational researcher18(8), 4-10.
  • Schleicher, A. (2016). Teaching Excellence Through Professional Learning and Policy Reform: Lessons from Around the World. Paris: International Summit on the Teaching Profession; OECD Publishing. doi: 10.1787/9789264252059-en
  • Tomlinson, Carol (2001). How to Differentiate Instruction in Mixed-Ability Differentiated Instructions Classrooms. Alexandria, Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development
  • Tomlinson, C. A., Brighton, C., Hertberg, H., Callahan, C. M., Moon, T. R., Brimijoin, K., et al. (2003). Differentiating instruction in response to student readiness, interest, and learning profile in academically diverse classrooms: a review of literature. J. Educ. Gifted, 27, 119–145. doi: 10.1177/016235320302700203
  • Tomlinson, C. (2015). Teaching for excellence in academically diverse classrooms. Society, 52, 203–209. doi: 10.1007/s12115-015-9888-0
  • Unesco (2017). A Guide for Ensuring Inclusion and Equity in Education. Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. Available online at: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000248254

Ditulis untuk memenuhi tugas Mata kuliah Pembelajaran Berdiferensiasi

Oleh A. Tenry Lawangen Aspat Colle, Mahasiswa PPG Prajabatan 2022, Rumpun Bahasa, Universitas Haluoleo

Tenry Colle
Tenry Colle

Hi! My name is A. Tenry Lawangen Aspat Colle. I am a motivated and resourceful English educator. In addition, as the owner of @rymari.translation17 has shaped me to be a punctual and dependable translator of Indonesian to English and vice versa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *