Tenrycolle.com
What better to do than, share your English knowledge with other people
What better to do than, share your English knowledge with other people
What better to do than, share your English knowledge with other people
Setiap bangsa memiliki ciri khas nilai kebangsaan yang dimiliki, dihayati, dan dilestarikan, begitu juga dengan Indonesia. Kaitannya dengan pendidikan, nilai-nilai yang dimiliki Indonesia dijadikan rujukan untuk diinternalisasikan dalam mutu penyelenggaraan sistem pendidikan.
Saat ini, di era globalisasi membuat dunia semakin nampak transparan dan terbuka, kehidupan sosial pun menjadi sangat luas, batas antar negara seakan menjadi sempit. Hal ini terbukti dengan kemudahan melihat, mendengar, dan membaca rentetan kehidupan manusia dari berbagai belahan dunia. Oleh karena itu, dengan situasi semacam ini memungkinan budaya asli Indonesia menjadi terlupakan.
Pertanyaannya adalah, apa yang mungkin terjadi kepada peserta didik kita jika mereka melupakan budaya asli Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita menengok kondisi pendidikan, khususnya peserta didik saat ini.
Sutrisno (2020) dalam penelitiannya menerangkan bahwa dampak negatif akibat melupakan nilai-nilai budaya ali Indonesia yaitu degradasi moral dan mental akibat sifat individualisme, hedonisme, pragmatisme hingga yang paling parahnya sampai memunculkan paham radikalisme dan intoleransi (Sutrisno, 2020).
Dampak lainnya yang terlihat pada peserta didik adalah mengikis iman secara perlahan, menuntun kearah pergaulan bebas, rendahnya tingkat kejujuran dan kedisiplinan, menghilangnya rasa tanggung jawab sosial hingga terjadinya degradasi moral yang ditandai dengan perilaku penyimpangan pada peserta didik.
Terlebih lagi, akibat pandemi COVID-19 yang menyerang dunia di penghujung tahun 2019 lalu membuat pemerintah dengan berat hati mengambil kebijakan untuk menutup sekolah sementara dan memberlakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau yang lebih dikenal dengan istilah pembelajaran daring (dalam jaringan).
Fenomena tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sakti, dkk., (2021) yang menerangkan beberapa persoalan moral yang terjadi diantaranya yaitu peserta didik yang suka menunda mengerjakan tugas, tidak membaca pesan yang disampaikan guru, bermain game, mengakses media sosial, menonton film dan bahkan tidur saat pembelajaran berlangsung.
Penelitian lainnya oleh Suriadi, Firman, & Ahmad (2021) memaparkan bahwa banyak peserta didik yang mengalami degradasi karakter dan tingkah laku diantaranya menyepelekan tugas online dengan sengaja tidak membaca pesan whatsapp group yang berkaitan dengan tugas tersebut, keluar dari whatsapp group kelas dan melawan dan bahkan berkata tidak pantas ketika ditegur oleh guru.
Nurohmah & Dewi (2021) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa terdapat banyak kasus penyimpangan sosial pada anak di masa pandemi ini seperti kasus seorang remaja asal Aceh yang ditangkap polisi setelah menyebarkan foto-foto dari mantan kekasihnya yang tidak senonoh.
Berbagai kasus di atas bisa menjadi sebuah fakta bahwa pendidikan tengah di ujung dalam jurang kehancuran, karena merosotnya moral anak bangsa. Kasus-kasus di atas telah menjadi saksi dari sebuah fakta bahwa generasi saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Munculnya kasus degradasi nilai dan karakter peserta didik serta krisis identitas nasional, maka sudah semestinya kita menggali kembali nila-nilai pendidikan Indonesia yang berakar dari budaya asli Indonesia guna melihat kemungkinan potensi pengimplementasiannya terhadap Pendidikan Indonesia saat ini.
Nilai-nilai pendidikan ini dapat kita gali melalui pemikiran Ki Hajar Dewantara; Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yang telah memberikan sumbangsih pemikirannya terhadap pendidikan Indonesia. Beliau memiliki pemikiran modern pada masanya, yang tetap relevan dengan kondisi saat ini dengan menempatkan pendidikan sebagai unsur penting untuk mengembangkan bangsa dan negara Indonesia agar terhindar dari kebodohan dan keterbelakangan.
Perjuangan pendidikan Ki Hajar Dewantara ini diwujudkan dengan pendirian Perguruan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta sebagai salah cara untuk mengubah metode pengajaran kolonial dengan ciri perintah dan sanksi menjadi sistem among yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang beradab. (Wiryopranoto, dkk., 2017).
Melalui pendidikan, KHD menekankan pada pengintegrasian budaya nasional yang berlandaskan nilai-nilai kebangsaan, karakter kebangsaan, dan budi pekerti dalam pendidikan nasional. Sebagaimana diungkapkan KHD yaitu:
“Berilah kemerdekaan kepada anak-anak didik kita: bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata dan menuju ke arah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Agar kebudayaan tersebut dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat, maka perlulah dipakai dasar kebangsaan, tetapi jangan dasar tersebut melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas yaitu dasar kemanusiaan”.
(Yamin 2009, hal. 117)
Gagasan terkait kebudayaan nasional ini dikenal dengan “TriKon” yang meliputi kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi.
Gagasan KHD mengenai TriKon meliputi kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi. Sikap kontinuitas dimulai dari apa yang dianggap sebagai milik pada unsur tradisi yang merupakan nilai nilai budaya sendiri, yaitu melestarikan keunikan budaya bangsa Indonesia.
Akan tetapi ketika menghadapi pengaruh dari dunia luar maka dapat mengambil sikap konsentrisitas, yang berarti terbuka tapi kritis, kreatif, dan selektif untuk memperkaya budaya melalui asimilasi unsur unsur baik dan nilai sekaligus mengambangkan identitas Indonesia secara tepat.
Selanjutnya sikap konvergensi bertujuan untuk bekerja sama dengan negara lain berdasarkan ciri individu kebangsaan menurut semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam perbedaan budaya antar negara (Thowaf Siti Malikhah, 2016).
Lebih lanjut, pendidikan menurut KHD adalah daya-upaya untuk memajukan dan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Sehingga, pendidikan itu membentuk manusia yang berbudi pekerti, berpikiran (pintar, cerdas) dan bertubuh sehat.
Peserta didik yang berbudi pekerti dalam tataran praksis kehidupan adalah mereka bertutur kata, bersikap, dan bertindak selaras dengan kebenaran ajaran agama, adat-istiadat, hukum positif, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dengan kata lain, pendidikan itu tidak mencabut akar budaya yang membuat peserta didik menjadi asing dengan realitasnya. Pendidikan harus membuat manusia di Indonesia menjadi peka akan budi pekerti. Kepekaan inilah yang membuat manusia di Indonesia akan terbentuk sebagai pribadi yang berkehalusan budi serta berkeheningan batin.
Peserta didik yang maju pikirannya adalah yang cerdas kognisi (tahu banyak dan banyak tahu) dan kecerdasannya itu membebaskan dirinya dari kebodohan dan pembodohan dalam berbagai jenis dan bentuknya
Peserta didik yang mengalami kemajuan pada tataran fisik atau tubuh adalah yang tidak semata sehat secara jasmani, tapi memiliki pengetahuan yang benar tentang fungsi tubuhnya dan memahami fungsi tersebut sebagai bentuk untuk memerdekakan dirinya.
Dalam praksis kehidupan, kemajuan dalam tubuh bisa dipahami sebagai memiliki kekuatan untuk memperjuangkan kemerdekaan dan keterampilan untuk mengisi kemerdekaan itu dengan segala pembangunan yang humanis.
Dengan dan melalui tubuh yang maju itu pula, pikiran yang maju dan budi pekerti yang maju memperoleh dukungan untuk mendeklarasi kemerdekaan diri dari segala bentuk penindasan ego diri yang pongah dan serakah dan memiliki kemampuan untuk menegaskan eksistensi diri secara beradab sebagai manusia yang merdeka (secara jasmani dan rohani).
Berdasarkan sudut pandang penulis terhadap nilai pendidikan KHD merupakan sebuah konsep pendidikan yang komprehensif dan mampu menjawab permasalahan dan tantangan pendidikan yang dihadapi bangsa ini, melalui:
Mengedepankan upaya pemanusiaan secara seutuhnya dalam seluruh praksis pendidikan. Artinya, aktivitas pendidikan dimaksudkan pertama-tama untuk mengembangkan kemanusiaan peserta didik secara utuh dan penuh. Dalam praksisnya potensi-potensi peserta didik dikembangkan secara terintegrasi (kognitif, afektif, psikomotor, konatif, sosial dan spiritual).
Dalam praksisnya guru hendaknya memandang peserta didik sebagai seorang pribadi yang memiliki potensi-potensi yang perlu dikembangkan. Dalam rangka mengembangkan potensi-potensi itu, guru menawarkan pengetahuan kepada para muridnya dalam suatu dialog. Sementara itu, peserta didik memikirkan dirinya dalam suatu dialog dan mengungkapkan gagasan-gagasannya sehingga yang terjadi adalah pengetahuan tidak ditanamkan secara paksa tetapi ditemukan, diolah dan dipilih oleh peserta didik.
Pendidikan budi pekerti yang merupakan jiwa bangsa dilakukan dengan memberikan keteladanan kepada peserta didik, membiasakan diri mengerjakan hal-hal yang baik, mengajak untuk melakukannya dalam tindakan nyata, dan merasakannya sesuai dengan karakter mereka.
Lembaga pendidikan bertanggungjawab dalam menyiapkan pelaku pendidikan (guru-guru) yang profesional dan memiliki integritas diri. Sementara itu, pelaku pendidikan senantiasa juga meningkatkan kualitas materi pendidikan dan integritas diri dalam khasanah moral.
Di tulis untuk memenuhi tugas Matakuliah Filosofi Pendidikan – Koneksi Antar Materi (Topik 2: Dasar – Dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara)
Oleh A. Tenry Lawangen Aspat Colle (PTK ID. 8000141266), Mahasiswa PPG Prajabatan 2022, Rumpun Bahasa, Universitas Haluoleo